18 Januari 2008

Einstein, Saintis Religius?

Tidak sedikit pengamat dan ilmuwan kontemporer membelah secara diametral aspek keilmuanan seorang Albert Einstein dari unsur relegiusitasnya. Pandangan seperti ini mengingatkan kita pada abad pertengahan, ketika terjadi kesenjangan total antara para ilmuwan dengan para agamawan dan tokoh-tokoh gereja yang kemudian bermuara pada renaissance di Eropa.

Konsekuensi pemisahan agama dengan ilmu pengetahuan ini kemudian menjadikan agama teralienasi dari berbagai konstelasi sistem kehidupan sehari-hari. Domain agama hanya mengatur hubungan vertikal hamba dengan Tuhannya. Selebihnya, menyangkut pranata hidup dan persoalan kemasyarakatan, agama tidak mempunyai urusan secara signifikan mengaturnya.

Penyekatan ilmu dan agama seperti ini juga pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam. Tepatnya pada era taqlid buta, di mana penggunaan nalar ijtihad diharamkan. Kondisi seperti ini dibarengi tumbuh suburnya asketisisme yang cenderung mengabaikan dimensi alam nyata serta mengedepankan realitas alam metafisika. Akibatnya sama: peran agama menjadi terisolasi dari blantika kehidupan sosial sehari-hari.

Para pengamat sains sebenarnya tidak menafikan begitu saja religiusitas Einstein sebagaimana kita maklumi bersama. Namun, religiusitas Einstein seringkali dimaknai lain di luar frame transendensi keimanan yang berdimensi teologis.

Religious feeling yang melekat pada pribadi Einstein dimaknai sebagai filsafat yang bertugas mengarahkan ke mana ilmu pengetahuan dikreasikan dan digunakan. Pandangan positivistik seperti ini seringkali berujung pada kesimpulan akhir bahwa Einstein adalah seorang atheis, walaupun dia menganggap dirinya religius dalam pengertian berbeda.

Einstein yang merupakan penemu teori relativitas dalam ilmu fisika ini, seperti disebutkan dalam banyak literatur, pernah mengakui wujud sebuah entitas Tuhan yang maha mengatur perjalanan jagad raya ini. Tidak hanya itu, Einstein juga mengakui ilmu kealaman yang dikuasainya merupakan sisa-sisa dari apa yang terhijab (tertutup) di balik kekuasaan Tuhan.

Pengakuan seperti ini tidak dapat dimaknai sekadar pantulan filsafat yang bertugas mengawal arah dan tujuan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, pengakuan seperti ini merupakan bentuk lain dari dimensi keimanan. Dimensi ini, dalam tradisi keberagamaan seseorang, dapat ditangkap sebagai elemen paling dasar dan esensial, yakni pengakuan terhadap wujud Tuhan.

Iman

Dunia Barat, melalui tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, tak dapat dimungkiri dapat menemukan dan mengimani wujud Tuhan Penciptanya. Ilmuwan Barat semisal John Clifford, pernah membuat ungkapan populer dalam salah satu judul bukunya: ''Tuhan dapat menjelma di era ilmu pengetahuan.

Creasy Morrison, mantan direktur Akademi Ilmu Pengetahuan New York, juga pernah membuat pernyataan senada: ''Ilmu pengetahuan dapat mendorong terciptanya iman bagi seseorang''.

Pendek kata, semakin seseorang dapat menyelami fenomena alam, maka ia semakin menemukan momentum keagungan sang Pencipta. Dalam Alquran surah Fathir ayat 28 disebutkan: ''Hanya orang berilmu pengetahuan dari hamba-hamba Allah yang dapat tunduk (beriman) kepada-NYA.

Dalam penelitiannya, Muhammad Ijazul Haq dari Universitas Damaskus, menyatakan terdapat 750 ayat dari sekitar 6.666 ayat Alquran yang berdimensikan ilmu pengetahuan. Dalam ayat-ayat tersebut Tuhan 'menegur' kaum agamawan untuk selalu berpikir kreatif, mempelajari fenomena alam, serta menjadikan kegiatan ilmiah menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan integral umat beragama sehari-hari.

Kenyataan seperti ini merupakan indikasi kuat komitmen agama terhadap upaya mengkompromikan ilmu pengetahuan dan agama itu sendiri. Penemuan sebuah realitas di balik eksistensi fisik dan metafisik dari jagad raya, merupakan bentuk pengamalan agama dan wujud ibadah paling mulia kepada Sang Pencipta --sebagai lambang identitas kepatuhan umat manusia dalam melaksanakan perintah 750 ayat Alquran di atas.

Tarik ulur

Dalam mengkalkulasi takaran ilmu pengetahuan dan agama, memang sering terjadi tarik ulur, seperti pernah tecermin dalam perdebatan antara dua ilmuwan Muslim, Ali Syari'ati dan Ismail al-Faruqi. Keduanya berdebat tentang ''islamisasi sains'' di satu pihak dan ''saintifikasi Islam'' di pihak lain.

Kedua tawaran teori tersebut sesungguhnya sama-sama memiliki kelemahan analisa (drawback) dalam tataran praksisnya. Islamisasi sains, misalnya, mengesankan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini tidak memiliki akar sejarah agama. Dengan kata lain, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan sekarang tidak memiliki mata rantai dengan konteks sejarah masa silam.

Padahal, fakta sejarah menunjukkan sebaliknya: kaum agamawan-lah yang mengibarkan 'obor' ilmu pengetahuan dan mengantarkan ilmu pengetahuan menjadi penerang hidup umat manusia. Pioner ilmu pengetahuan di abad pertengahan, misalnya, diwarnai oleh sejumlah ilmuwan Muslim, seperti al-Khawarizmi, al-Biruni, Umar Khayam, Ibnu Haitam, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Razi, al-Tusi, dan lain-lain.

Masa-masa setelah itu, obor ilmu pengetahuan umat Islam kian melemah. Ilmu-ilmu kealaman mendapatkan porsi perhatian lebih rendah ketimbang cabang-cabang ilmu lain. Muara dari itu semua adalah umat Islam saat ini menatap tak berdaya perkembangan ilmu pengetahuan dari buaian dan budaya Barat. Kesan yang kemudian muncul adalah terjadinya disintegrasi ilmu pengetahuan dan agama.

Di lain pihak, saintifikasi Islam juga mengandung beberapa kelemahan metodologis. Kesan yang muncul dari teori ini, seolah Islam kering akan pemunculan konsep dasar ilmu pengetahuan, sehingga perlu mengadopsi epistemologi ilmu pengetahuan dari luar dirinya. Padahal, seperti disebutkan tadi, tidak kurang dari 750 ayat dalam Alquran menegur kaum agamawan untuk mengembangkan teori ilmu pengetahuan.

Persoalan yang melilit ummat Islam sekarang, ayat-ayat kauniyah (ayat tentang jagad raya) dalam Alquran sering digunakan tidak lebih dari sekadar menjustifikasi pesatnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat saat ini.

Suprasaintifikasi

Gagasan yang mesti dikembangkan saat ini adalah suprasaintifisme Islam. Maksudnya, dasar-dasar ilmu pengetahuan dalam ayat kauniyah dapat diejawantahkan menjadi sebuah epistemologi ilmu yang dapat diakses dan dikembangkan sesuai tingkat perkembangan zaman.

Di pihak lain, bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan yang telah kita capai dapat dirujuk dalam ayat-ayat kauniyah di atas, sehingga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan sejauh apapun dapat kita tempatkan sesuai konteksnya yang paling transenden, yaitu agama. Dengan demikian, tidak ditemukan lagi sebuah kebenaran sekuler yang membelah kutub ilmu pengetahuan dan agama.

Apa yang tersirat dalam ayat-ayat kauniyah sesungguhnya amat memotivasi suprasaintifikasi ini, sehingga nilai-nilai universal yang terkandung dalam diktum-diktum ajaran dapat ditafsirkan secara ilmiah-empirik --sebagaimana juga pembenaran asumsi ilmiah di lapangan dapat dibuktikan dengan dalil-dalil agama.

Pemahaman seperti ini dapat membebaskan keterjeratan ilmu pengetahuan dari kungkungan sekularisme, sehingga tidak ditemukan lagi dua kutub kebenaran yang saling berlawanan: ilmiah dan religius. Yang ada hanyalah kebenaran tunggal: ilmiah sekaligus religius. Melalui prinsip seperti ini, interrelasi hasil-hasil ilmu pengetahuan dan interpretasi manusia atas wahyu dituangkan dalam bentuk konsensus kebenaran tunggal dan tidak memberi peluang polarisasi.

Pada era pascamodern saat ini, ekuilibrium antara posisi ilmu-nalar dengan nilai-nilai etika-moral dalam kehidupan sehari-hari menjadi sangat penting dan bermakna. Sebab revolusi industri telah mengubah posisi agama pada tataran inferior dibanding ilmu pengetahuan. Akibatnya, diakui atau tidak, tampilan modernitas dalam batas-batas tertentu dapat mendistorsi persoalan etika dan moralitas yang sangat dijunjung ajaran agama.

Oleh karena itu, pada era pascamodern saat ini, tidak sedikit kalangan yang menyebutnya sebagai era kebangkitan agama dengan performa yang lebih rasional. Otoritas wahyu mesti dikawinkan dengan penafsiran nalar dan ilmu dalam rangka aktualisasi diri menyikapi persoalan kemanusiaan sehari-hari yang kian menantang.

Dalam kaitan ini, pertautan antara teks agama dengan nalar manusia menjadi sangat menarik dimaknai secara teologis untuk memantulkan nilai-nilai eternal ajaran suci ke dalam realitas ilmu pengetahuan. Secara konseptual, nalar dan wahyu merupakan dua entitas yang sebenarnya tidak perlu dipertentangkan secara diametral.

Wahyu sebagai tuntunan ilahi diturunkan tak lain untuk membimbing entitas akal untuk mengkreasi ilmu pengetahuan. Sebaliknya, akal dan epistemologi ilmu diciptakan Tuhan menjadi mi'yar (tolok ukur) dalam menentukan peradaban manusia yang dapat mengapresiasi nila-nilai etika dan moralitas dalam blantika hidup sehari-hari.

Tidak ada komentar: