Kebenaran Itu Paradoks
Realitas ini akan mengejutkan manusia modern, karena kita terbiasa hidup dalam kebenaran tunggal. Hidup dalam paradigma menang-kalah. Yang menang adalah yang lebih banyak, lebih kuat, lebih kaya, lebih pandai berartikulasi. Siapa menang akan benar. Yang kalah itu tidak benar.
Hidup ini adu kekuatan, perang. Dan perang membutuhkan konflik. Dan konflik adalah perbedaan-perbedaan. Di mana tumbuh perbedaan-perbedaan, maka di situ muncul konflik. Setiap perbedaan mengklaim dirinya benar. Dan karena setiap kebenaran itu ingin hidup dan berkembang, sebagai hak asasi, maka yang terjadi adalah perang-kebenaran. Kebenaran yang lebih kuat akan menggencet dan menyingkirkan kebenaran yang kalah. Itulah cara berpikir kita sekarang ini.
Perbedaan adalah pluralisme, suatu bhinneka. Pluralisme adalah kodrat, alamiah, di luar kuasa manusia. Lihatlah langit, ada matahari, bulan, dan aneka ragam bintang-bintang. Lihatlah alam dunia ini, ada gunung dan dataran rendah, ada daratan ada hutan, ada hulu dan ada hilir, ada siang dan ada malam.
Pluralisme juga ada dalam kebudayaan manusia. Cara berpikir orang-orang di kutub berbeda dengan cara berpikir orang-orang di khatulistiwa. Cara berpikir orang
Sejarah perang kebenaran
Pluralitas adalah realitas yang tidak dapat direduksi menjadi kebenaran tunggal. Sejarah penderitaan manusia adalah sejarah perang kebenaran untuk menduduki tempatnya yang tunggal di dunia ini. Dan tidak pernah tercapai. Tampaknya sudah tercapai, tetapi umurnya tidak panjang, karena realitas itu kebhinnekaan.
Namun, manusia tidak pernah belajar dari sejarah dirinya sendiri. Konflik kebenaran tetap dilanjutkan dengan perang kebenaran. Manusia itu musuh bagi sesamanya. Dan musuh itu harus dilenyapkan karena merupakan gangguan dan ancaman bagi dirinya. Manusia ingin hidup dengan kebenarannya sendiri sambil menafikan kebenaran yang lain. Seandainya ini pun terjadi, maka kebenaran tunggalnya itu pun lambat laun akan menumbuhkan dirinya dalam kebenaran plural. Sejarah manusia telah membuktikan hal ini berkali-kali.
Mengapa manusia bisa keras kepala, ndableg, seperti itu? Karena kehendak bebasnya, karena kebebasan pikirannya. Engkau boleh memenjarakan badannya, menyakiti dan mengancamnya, tetapi engkau tidak mungkin melenyapkan pikirannya.
Kebenaran tunggal itu melawan kodrat manusia sendiri. Kebenaran tunggal itu antikebebasan, bahkan untuk dirinya sendiri. Kebenaran tunggal adalah pembekuan pikiran. Mandek. Tertutup dan sumpek. Manusia-manusia tertutup seperti ini membuat dunia berhenti kehilangan cakrawala. Manusia bukan manusia lagi, hanyalah kawanan bebek atau kerbau yang menuruti lecutan si pemilik kebenaran.
Kearifan lokal
Manusia
Manusia mengenal kasih sayang dan kebencian, begitu pula alam. Kasih sayang itu menumbuhkan kehidupan, sedangkan kebencian itu merusak kehidupan. Kasih sayang dan kebencian adalah pola hubungan dua pihak. Cinta itu muncul antara yang mencinta dan yang dicintai, begitu pula kebencian. Nenek moyang
Bagaimana Anda dapat hidup bersebelahan dengan orang yang memusuhi Anda karena kebenaran kita berbeda? Untuk apa menang kalau yang lain tak ada? Kemenangan selalu membutuhkan kekalahan. Kehidupan dalam kebenaran tunggal hanya mungkin kalau yang lain itu kalah dan dimatikan. Kearifan lokal
Itulah kebenaran paradoks. Kalau kebenaran saya berseberangan dengan kebenaran Anda, maka masing-masing dari kita harus memparadokskan diri. Saya mengenal dan memahami kebenaran Anda, dan Anda juga mengenal dan memahami kebenaran saya. Karena saya mengenal Anda, maka saya akan melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang Anda sukai atau Anda tidak sukai. Begitu pula Anda.
Justru itu dilakukan untuk mempertahankan prinsip masing-masing. Dalam memahami yang lain, diri masing-masing tidak berubah. Saya tetap saya, dan Anda tetap Anda. Itulah yang terjadi dalam kebenaran paradoks. Kondisi paradoksal itulah yang akan menyelamatkan prinsip kita masing-masing, karena saya tahu apa yang Anda mau dan Anda tahu apa yang saya mau. Dan karenanya kita dapat bersikap yang dapat menghindarkan konflik.
Kebenaran baru
Sikap paradoks seperti ini tak akan terjadi kalau kita tidak membuka diri. Manusia tertutup tak mungkin hidup tanpa konflik, karena manusia ini buta. Melihat tetapi tidak melihat. Manusia paradoks adalah manusia terbuka tetapi tetap mempertahankan kebenaran sendiri. Manusia
Jadi, nilai kebenaran
Inilah kearifan harmoni itu. Harmoni hanya dapat dicapai dengan mengembangkan sikap paradoksal. Membuka diri untuk yang lain. Harmoni bukan sintesis peleburan yang melenyapkan kebenaran masing-masing. Artinya rela melenyapkan kebenaran sendiri dengan membentuk kebenaran baru yang merupakan sintesis kebenaran baru. Inilah sebabnya banyak tokoh tidak berhasil ketika berusaha membentuk agama baru dari campur aduk berbagai agama.
Harmoni itu tidak menetap dan konstan. Harmoni dicapai lewat paradoks ketika gejala konflik memanas. Lalu kembali ke diri masing-masing. Hidup memang berpotensi konflik, tetapi konflik itu tidak konstan. Tegang terus itu tidak baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar