24 Desember 2007

Kebenaran Itu Paradoks

Kebenaran Itu Paradoks

Realitas ini akan mengejutkan manusia modern, karena kita terbiasa hidup dalam kebenaran tunggal. Hidup dalam paradigma menang-kalah. Yang menang adalah yang lebih banyak, lebih kuat, lebih kaya, lebih pandai berartikulasi. Siapa menang akan benar. Yang kalah itu tidak benar.

Hidup ini adu kekuatan, perang. Dan perang membutuhkan konflik. Dan konflik adalah perbedaan-perbedaan. Di mana tumbuh perbedaan-perbedaan, maka di situ muncul konflik. Setiap perbedaan mengklaim dirinya benar. Dan karena setiap kebenaran itu ingin hidup dan berkembang, sebagai hak asasi, maka yang terjadi adalah perang-kebenaran. Kebenaran yang lebih kuat akan menggencet dan menyingkirkan kebenaran yang kalah. Itulah cara berpikir kita sekarang ini.

Perbedaan adalah pluralisme, suatu bhinneka. Pluralisme adalah kodrat, alamiah, di luar kuasa manusia. Lihatlah langit, ada matahari, bulan, dan aneka ragam bintang-bintang. Lihatlah alam dunia ini, ada gunung dan dataran rendah, ada daratan ada hutan, ada hulu dan ada hilir, ada siang dan ada malam.

Pluralisme juga ada dalam kebudayaan manusia. Cara berpikir orang-orang di kutub berbeda dengan cara berpikir orang-orang di khatulistiwa. Cara berpikir orang padang rumput berbeda dengan cara berpikir (dan cara hidup) orang rimba raya. Cara berpikir alam dua musim berbeda dengan yang empat musim. Cara berpikir orang dagang berbeda dengan cara berpikir orang tani. Kebenaran kaum pemburu berseberangan dengan kebenaran kaum tani.

Sejarah perang kebenaran

Pluralitas adalah realitas yang tidak dapat direduksi menjadi kebenaran tunggal. Sejarah penderitaan manusia adalah sejarah perang kebenaran untuk menduduki tempatnya yang tunggal di dunia ini. Dan tidak pernah tercapai. Tampaknya sudah tercapai, tetapi umurnya tidak panjang, karena realitas itu kebhinnekaan.

Namun, manusia tidak pernah belajar dari sejarah dirinya sendiri. Konflik kebenaran tetap dilanjutkan dengan perang kebenaran. Manusia itu musuh bagi sesamanya. Dan musuh itu harus dilenyapkan karena merupakan gangguan dan ancaman bagi dirinya. Manusia ingin hidup dengan kebenarannya sendiri sambil menafikan kebenaran yang lain. Seandainya ini pun terjadi, maka kebenaran tunggalnya itu pun lambat laun akan menumbuhkan dirinya dalam kebenaran plural. Sejarah manusia telah membuktikan hal ini berkali-kali.

Mengapa manusia bisa keras kepala, ndableg, seperti itu? Karena kehendak bebasnya, karena kebebasan pikirannya. Engkau boleh memenjarakan badannya, menyakiti dan mengancamnya, tetapi engkau tidak mungkin melenyapkan pikirannya.

Kebenaran tunggal itu melawan kodrat manusia sendiri. Kebenaran tunggal itu antikebebasan, bahkan untuk dirinya sendiri. Kebenaran tunggal adalah pembekuan pikiran. Mandek. Tertutup dan sumpek. Manusia-manusia tertutup seperti ini membuat dunia berhenti kehilangan cakrawala. Manusia bukan manusia lagi, hanyalah kawanan bebek atau kerbau yang menuruti lecutan si pemilik kebenaran.

Kearifan lokal

Ada cara berpikir lain milik kearifan lokal Indonesia, terutama manusia Indonesia yang nenek moyangnya hidup dari pertanian. Indonesia adalah ribuan pulau di khatulistiwa dengan aneka ragam hayati dan geografi. Apa pun yang ada di dunia ini ada di Indonesia. Hutan, gunung, sungai, rawa-rawa, laut, teluk, tanah genteng, bantaran, padang sabana, padang pasir, padang tandus, tundra, salju. Gempa, gunung api, tanah longsor, tsunami, tanah turun-ambles, semua ada di Indonesia.

Manusia Indonesia melihat itu semua tetapi tidak melihat. Namun, nenek moyang orang Indonesia melihat apa yang dilihatnya, karena mereka hidup bergantung pada alam ekologinya. Mereka bukan hanya mampu melihat ekologi, tetapi juga mampu membaca ekologi. Mereka hidup dengan alam, bersama alam, dan dalam alam. Bahkan menjajarkan dirinya dengan alam. Dan alam itu bukan obyek mati yang bisa dibikin semena-mena oleh manusia. Alam itu seperti manusia yang dapat murah hati, penuh kasih sayang, tetapi juga dapat marah, merusak dan mematikan.

Manusia mengenal kasih sayang dan kebencian, begitu pula alam. Kasih sayang itu menumbuhkan kehidupan, sedangkan kebencian itu merusak kehidupan. Kasih sayang dan kebencian adalah pola hubungan dua pihak. Cinta itu muncul antara yang mencinta dan yang dicintai, begitu pula kebencian. Nenek moyang Indonesia menyadari pluralisme ini, perbedaan-perbedaan ini, kemungkinan-kemungkinan konflik ini. Manusia Indonesia lebih memihak kepada kehidupan yang plural ini. Pluralisme adalah realitas, tanpa kebhinnekaan hidup akan berhenti, mati, pluralisme adalah hidup ini sendiri.

Bagaimana Anda dapat hidup bersebelahan dengan orang yang memusuhi Anda karena kebenaran kita berbeda? Untuk apa menang kalau yang lain tak ada? Kemenangan selalu membutuhkan kekalahan. Kehidupan dalam kebenaran tunggal hanya mungkin kalau yang lain itu kalah dan dimatikan. Kearifan lokal Indonesia menolak menang dan kalah, karena berpihak pada prinsip kehidupan. Jadi, banci dan tak punya prinsip? Justru prinsipnya memihak kepada kehidupan yang plural ini. Membunuh kebenaran yang lain itu jahat, tidak etis. Lha, bagaimana itu mungkin?

Itulah kebenaran paradoks. Kalau kebenaran saya berseberangan dengan kebenaran Anda, maka masing-masing dari kita harus memparadokskan diri. Saya mengenal dan memahami kebenaran Anda, dan Anda juga mengenal dan memahami kebenaran saya. Karena saya mengenal Anda, maka saya akan melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang Anda sukai atau Anda tidak sukai. Begitu pula Anda.

Justru itu dilakukan untuk mempertahankan prinsip masing-masing. Dalam memahami yang lain, diri masing-masing tidak berubah. Saya tetap saya, dan Anda tetap Anda. Itulah yang terjadi dalam kebenaran paradoks. Kondisi paradoksal itulah yang akan menyelamatkan prinsip kita masing-masing, karena saya tahu apa yang Anda mau dan Anda tahu apa yang saya mau. Dan karenanya kita dapat bersikap yang dapat menghindarkan konflik.

Kebenaran baru

Sikap paradoks seperti ini tak akan terjadi kalau kita tidak membuka diri. Manusia tertutup tak mungkin hidup tanpa konflik, karena manusia ini buta. Melihat tetapi tidak melihat. Manusia paradoks adalah manusia terbuka tetapi tetap mempertahankan kebenaran sendiri. Manusia Indonesia lama itu bukan jenis manusia sintesis, banci, dan mencla-mencle. Kebenaran saya tetap ingin hidup, dan kebenaran Anda juga tetap ingin hidup. Bagaimana hidup itu sendiri mungkin kalau saya mematikan Anda atau Anda mematikan saya? Saya tidak rela mati dan Anda juga tidak rela mati atau dimatikan. Apakah hak hidup ini hanya untuk kebenaran saya saja?

Jadi, nilai kebenaran Indonesia itu paradoks. Tepo sliro manjing ajur ajer. Subyek menjadikan dirinya obyek. Manusia memasuki pikiran yang lain. Manusia menjadikan dirinya seperti alam. Saya tahu bagaimana alam akan memberikan kasih sayangnya kepada saya, dan saya juga tahu bagaimana alam akan marah dan membinasakan diri saya. Saya tahu bagaimana Anda akan memberikan kasih sayang Anda kepada saya, dan saya juga tahu bagaimana saya dapat membuat Anda marah.

Inilah kearifan harmoni itu. Harmoni hanya dapat dicapai dengan mengembangkan sikap paradoksal. Membuka diri untuk yang lain. Harmoni bukan sintesis peleburan yang melenyapkan kebenaran masing-masing. Artinya rela melenyapkan kebenaran sendiri dengan membentuk kebenaran baru yang merupakan sintesis kebenaran baru. Inilah sebabnya banyak tokoh tidak berhasil ketika berusaha membentuk agama baru dari campur aduk berbagai agama.

Harmoni itu tidak menetap dan konstan. Harmoni dicapai lewat paradoks ketika gejala konflik memanas. Lalu kembali ke diri masing-masing. Hidup memang berpotensi konflik, tetapi konflik itu tidak konstan. Tegang terus itu tidak baik.

Tidak ada komentar: